Berbagi Cerita Dengan Penjual Kopi Keliling
Cerita Perjuangan Usaha Kopi Keliling
Sepeda penuh dengan kopi saset dan termos yang dikayuh
hilir-mudik, tak asing ditemui di sekitar Taman Menteng, Jakarta Pusat.
“Kopinya, mbak?”
Salah seorang penjual kopi keliling, yang kerap disebut
dengan istilah starling alias Starbuck keliling, menawarkan dagangannya kepada
saya. Dia kayuh sepedanya pelan-pelan, lantas berhenti.
Namanya Ahmad. Sudah tujuh tahun dia menjajakan kopi
keliling. Setiap hari, dia biasa beroperasi pukul 10.00 di sekitar Taman
Menteng.
Kopi Keliling |
“Saya dari Madura,” kata Ahmad, Rabu (2/1) sore.
Merantau ke Jakarta, Ahmad memboyong istrinya. Namun, dia
meninggalkan anaknya di sana, karena masih bersekolah. Ahmad mengaku, hijrah ke
Jakarta karena diajak kakaknya.
Di ibu kota, Ahmad dan istrinya tinggal di daerah Kwitang,
Jakarta Pusat. Di tempatnya tinggal sekarang, seluruhnya berprofesi sama
sebagai penjaja kopi keliling. Rekan-rekan Ahmad pun sebagian besar berasal
dari Madura.
Ahmad mengatakan, pendapatan dari berjualan kopi tak
menentu. Dia punya keinginan untuk membuka usaha sendiri, seperti minimarket.
“Jual starling gini capek. Enak kalau punya minimarket,”
katanya.
Berbeda dengan Ahmad, rekan seprofesinya, Bakir, tak punya
cita-cita bikin usaha sendiri. Alasannya, modal nihil. Lebih lama dari Ahmad,
Bakir punya pengalaman mengayuh sepeda penuh kopi saset sudah 10 tahun.
“Sehari biasanya saya dapat untung Rp100.000,” kata Bakir,
yang ditemui di kampung kopi Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis (3/1).
Tak hanya kopi. Minuman saset yang dijual bermacam-macam,
mulai dari susu saset hingga minuman rasa buah. Harganya juga variatif. Mulai
dari Rp 3.000 hingga Rp 5.000.
Lokasi tempat Bakir berkeliling adalah Bundaran HI, Jakarta
Pusat. Dia mengayuh sepedanya, menawarkan kopi, dan mangkal dari siang hingga
malam.
Terkena Razia Satpol PP
Selama 10 tahun berjualan kopi, setidaknya telah empat kali
Bakir terjaring razia Satpol PP di Bundaran HI.
razia penjual kopi keliling |
“Tapi mau gimana lagi ya, saya harus cari nafkah,” kata
Bakir.
Hasan, juragan di kampung kopi mengatakan, para penjaja kopi
keliling hampir setiap hari terjaring razia. Biasanya, para pedagang akan
melapor ke dirinya pada sore hari, bila terkena razia.
“Kemarin (2/1), ada dua (pedagang) yang tertangkap razia,”
kata Hasan.
Dia sudah kenyang mengurus razia. Hasan pun sebenarnya
sadar, usaha kopi keliling melanggar aturan Perda.
“Berjualan di Taman Menteng juga sebenarnya tidak boleh.
Tapi ada toleransi lah, asal sampahnya dibuang, tamannya dijaga kebersihannya,”
ujar Hasan.
Menurut Hasan, yang paling merepotkan bila pedagang
terjaring razia di daerah Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara. Biasanya,
mereka langsung diamankan ke markas Satpol PP, Cakung, Jakarta Timur.
“Kalau sudah begitu bisa sidang, dibawa ke Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat. Yang urus ya saya, biar jualannya enggak disita,” ujarnya.
Hasan mengatakan, jika tertangkap satu kali, dia harus
membayar denda Rp100.000. Dua kali Rp200.000. Bila sudah tiga kali, dia harus
meminta rekomendasi dari lurah, untuk berjanji tak akan berjualan di sekitar
Istana Presiden lagi.
“Kalau tertangkap lagi, ya udah, enggak bisa jualan,”
katanya.
Kisah Menjadi Juragan Kopi Keliling
Kampung kopi yang letaknya bersebelahan dengan gedung Bank
Indonesia Institute, Kwitang, Jakarta Pusat tersebut, terlihat lengang pada
siang hari. Gerobak-gerobak penjual makanan terlihat berjejer, saat saya
memasuki kampung ini. Para penjual kopi keliling kebanyakan memasok barang
dagangannya dari sini.
Hasan, merupakan seorang juragan kopi di sini. Dia
mengatakan, sudah merantau ke Jakarta sejak 1985. Saat itu, usia Hasan masih 12
tahun.
“Saya diajak merantau ke Jakarta, awalnya jadi pemulung,”
kata pria asal Sampang, Madura itu.
Pria berusia 45 tahun tersebut masih ingat, kala merantau
hanya mengeluarkan uang Rp1.500 untuk tiket kereta api dari Surabaya ke
Jakarta. Saat itu, dia masih tinggal di Pejambon, Jakarta Pusat.
Setelah bergonta-ganti profesi, akhirnya dia mencoba
berjualan keliling pada awal 1990. Mulanya, dia mengadu nasib berjualan teh
botol menggunakan gerobak. Beberapa kali dia terjaring razia. Lalu, dia tak
lagi menggunakan gerobak, tapi memikul barang dagangannya.
“Dulu jualnya ke Pasar Tanah Abang, ke kantor-kantor. Tapi
lama-lama pegal dan capek juga. Bahu jadi sakit,” kata Hasan.
Lantas, bersama seorang temannya, dia memiliki ide berjualan
minuman menggunakan sepeda. Dengan mengayuh sepeda, dia bisa menjangkau lebih
banyak pelanggan. Seiring waktu, bisnis berjualan minuman keliling menggunakan
sepeda ini makin berkembang.
Hasan kemudian mengajak teman-temannya untuk berjualan
keliling juga menggunakan sepeda. Sejak saat itu, dia tak lagi menjadi seorang
penjual kopi keliling, tapi juragan yang memasok kebutuhan barang dagangan
untuk para penjaja kopi.
Berkat kopi-kopi yang dijajakan dari para penjual bersepeda
itu dia bisa menunaikan ibadah haji dan umrah. Di tokonya, dia memiliki hunian
empat lantai, yang disewakannya kepada para pedagang kopi keliling.
Hasan mengatakan, dia hanya membantu memfasilitasi
orang-orang yang memang ingin bekerja. “Karena peluang kerja bagi kita yang
putus sekolah ke Jakarta enggak ada ijazah, ya starling ini,” kata Hasan.
Mayoritas penjual kopi keliling di bawah Hasan, tak punya
modal dari kampung halamannya. Mereka hanya modal nekat, membawa badan saja.
Hasan kemudian akan memberikan modal orang-orang itu, seperti sepeda, termos,
dan barang-barang dagangan senilai Rp3 juta.
“Cara bayarnya (mengembalikan modal) ada dua, yang pertama
dicicil atau bayar di belakang. Nanti kalau sudah lunas, sepedanya bisa jadi
milik mereka,” ujar Hasan.
Saat ini, Hasan mengatakan, dirinya membawahi sekitar 370-an
pedagang kopi keliling. “Tadinya sekitar 700, cuma mecah-mecah (pindah
juragan), akhirnya sisa 300-an pedagang,” ujarnya.
Hasan memperoleh barang-barang dagangannya langsung dari
distributor. Maka, dia bisa menjual barang-barang tersebut dengan harga lebih
murah ke pedagang kopi keliling, daripada ketika dia mengambil dari agen.
Penjual kopi keliling di bawah Hasan banyak yang berjualan
di daerah Jakarta Selatan. Sebab, banyak kantor dan proyek pembangunan jalan
yang dikerjakan di Jakarta Selatan. Sementara itu, Maret dan Oktober akan
menjadi bulan terlaris, karena sedikitnya hari libur kerja.
“Kalau sepi itu paling tanggal merah, karena kantor libur.
Bulan puasa juga begitu, satu bulan saya akan tutup, pedagang juga pada mudik
ke kampung,” kata Hasan.
Terntanya perjuangan menjadi tukang kopi keliling cukup berat ya, selain harus menempuh jarak yang jauh dengan bersepeda dan membawa barang yang banyak, resiko lainnya adalah jika terkena razia. Kopi keliling cukup bermanfaat untuk sebagian masyarakat karena praktis dan harganya pun cukup terjangkau untuk semua kalangan.
Yuk bantu usaha mereka, tidak ada salahnya kita membeli dagangan mereka di saat sedang bekerja atau bersantai bersama teman.
Demikian sedikit cerita dari para pengusaha kopi keliling, semoga bermanfaat untuk para pembaca sekalian.
sumber : alinea(.)id